Those Darker Days [My TB Story]
Selalu maju-mundur mau cerita hal
ini karena lumayan personal bagi gue. Tapi, karena memang masih banyak orang
yang menderita penyakit ini dan gue pengen banget siapa pun kalian yang baca
postingan ini ga menderita hal yang sama, gue akhirnya memutuskan untuk berbagi
pengalaman gue. Intinya, gue pengen cerita supaya kalian ga melakukan kesalahan
yang sama dan ga menganggap remeh penyakit apa pun itu. Gue juga akan kasih
tahu cara-cara gue untuk tetap jaga kesehatan dan menjauhi diri dari penyakit
ini. Siap-siap, ya, postingan ini akan lumayan panjang.
Akhir bulan Ramadan tahun 2017, yaitu bulan
Juni, gue didiagnosis terkena penyakit TB atau TBC atau Tuberculosis. Setahu
gue, penyakit ini bisa menyerang organ apa aja, tapi yang gue derita adalah
yang paling banyak diderita juga oleh orang-orang di negara berkembang
yang lain, yaitu TB paru. Karena paru-paru adalah organ sistem pernapasan,
otomatis penyakit TB paru pasti menular.
Ceritanya, gue memang sudah mulai
batuk sekitar sebelum bulan Ramadan. Lalu, setelah pertengahan hingga akhir
bulan Ramadan, kondisi gue semakin melemah dan yang paling menyeramkan
adalah.... gue batuk berdahak darah. Bodohnya, gue kira batuk darah ini karena
mungkin amandel atau kerongkongan gue infeksi atau semacamnya jadi bisa
berdarah. Tapi, gue mulai merasakan, oke ini kayaknya bukan hanya karena
kerongkongan gue berdarah. Gue memang ga setiap saat batuk darah. Lebih sering batuk
yang dahaknya ga berwarna alias putih, tapi kalau malam hari, pasti dahak darah
itu keluar, dan setiap gue batuk mengeluarkan darah, rasanya kayak ga
habis-habis. Dada dan rusuk bagian belakang gue juga sakit. Akhirnya, gue
memutuskan untuk berobat pada malam H-2 Idul Fitri ditemani kakak kedua gue.
Gue waktu itu ke dokter umum di
RS Mitra Keluarga Depok. Waktu gue cerita ke dokternya, “Saya batuk, dok”. Muka
dokternya masih adem-adem aja. Tapi, waktu gue bilang, “Tapi, dahaknya
darah...”. Dokternya langsung ngeliat ke gue dengan mengernyit dan ekspresi
yang super ga enak, haha. Lalu, tanpa basa-basi lagi, dia nyuruh gue periksa
darah dan rontgen, lalu balik lagi ke dia. Karena hasil darah butuh 2 jam bisa
keluar, dokter umum itu hanya lihat hasil rontgen gue. Setelah dia lihat
hasilnya, dia langsung telepon seseorang dan nanya, “Dokter paru masih ada?”.
Sayangnya, karena waktu itu udah sekitar jam 9 malam, dokter paru terakhir hari
itu udah pulang. Sayangnya lagi, setelah hari itu, udah ga ada dokter paru yang
praktik di Mitra karena semuanya udah cuti lebaran :) Lalu, gue nanya, “Kenapa,
dok? Jadi, saya sakit apa?” Dokter bilang, “Saya mau rujuk kamu ke dokter paru
karena dari penglihatan saya berdasarkan hasil rontgen, kamu TB. Tapi, karena
saya dokter umum, saya tidak punya otoritas sepenuhnya untuk mendiagnosis.” Ya,
kurang lebih kayak gitu.
Sebagai anak terakhir dari lima
bersaudara dan orang tua yang lumayan panikan (haha), jadilah keadaan rumah
lumayan heboh waktu itu. Orang tua gue langsung cari rumah sakit yang masih ada
dokter paru. Pagi harinya, gue konsul ke RS Siloam Simatupang dengan udah
megang hasil cek darah dan rontgen dari Mitra. Saat konsul, intinya dokter cuma
nanya, sejak kapan berat badan gue turun dan gue tinggal di asrama atau ga. Gue
bukan orang yang terlalu merhatiin timbangan karena gue ngerasa berat badan gue
normal-normal aja. Jadi, gue sama sekali ga sadar kalau berat badan gue turun drastis.
Gue baru ingat, memang biasanya berat badan gue 48 atau 49, tapi waktu sakit,
berat gue 41. Gue juga cerita ke dokter kalau gue ga asrama, tapi memang
beberapa teman sejurusan gue juga ada yang pernah sakit TB.
Sebenarnya, seseorang bisa
positif didiagnosis TB paru itu harus dilihat dari tiga faktor, yaitu hasil lab
darah, rontgen, dan cek dahak. Tapi, karena gue ga bisa ngeluarin dahak yang cukup
banyak untuk diperiksa, gue ga mengikuti prosedur yang satu itu. Dokter Siloam
ini juga sepertinya udah dokter paru yang lebih expert (dilihat dari gelarnya) karena
dia ga mau spekulasi dan menurut dia, gue udah positif kalau dilihat dari hasil
rontgen. Bercak di paru-paru gue menurut dia udah banyak, terutama di paru-paru
kanan (mungkin ini penyebab setiap gue batuk, rusuk belakang gue sakit). Dokter
yang ini juga ga banyak omong dan pembawaannya tenang, gue jadi ikut udah ga
terlalu panik lagi. Di akhir konsul, dia cuma jelasin apa aja yang harus gue
minum, obat-obat penunjang lainnya, dan dia juga nyuruh semua orang rumah di-screening.
Dia juga bilang gue harus konsul setiap bulan.
Lebaran tahun itu lumayan gokil,
sih. Gue bisa ngerasain vibe rumah ga seceria tahun-tahun lalu. Setelah salat Id,
gue juga cuma bisa tiduran di kasur karena super mual dan muntah-muntah akibat
minum empat macam antibiotik TB. Keluarga inti gue juga ga ada yang keluar
rumah.
Hari kedua lebaran, keempat kakak
gue dan kedua orang tua gue pun screening. Ternyata kabar buruk belum berakhir.
Hasil rontgen Ibu gue juga memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Setelah
dilihat dokter paru yang sama di Siloam, Ibu juga positif TB. Sebenarnya,
bercak di paru-paru Ibu gue masih sedikit, tapi menurut dokter, tetap harus
minum obat selama enam bulan.
Oke, perasaan gue super ga karuan
waktu itu. Bayangin, lu masih syok setelah didiagnosis TB, mual karena empat
antibiotik keras, dan baru tahu kalau lu juga nularin penyakit itu ke ibu lu.
Gue inget, malemnya, gue nangis bombay dan akhirnya dapet wejangan penyemangat
dari Ayah, haha.
Alhamdulillah, Ibu gue ga sepayah
gue. Beliau ga mual atau pun muntah-muntah kayak gue. Anak satu tahun kakak
pertama gue juga ternyata harus minum salah satu obat TB selama enam bulan
untuk mencegah hal-hal yang ga diinginkan (meskipun dia ga tertular).
Alhamdulillah lagi, saat itu
bertepatan dengan libur kuliah tiga bulan. Jadilah gue super istirahat selama
awal minum obat itu, meskipun badan udah enakan setelah satu bulan. Oh iya,
setelah minum obat dua minggu, penyakit ini udah ga menular karena bakterinya
udah “pingsan”. Gue juga udah ga harus pake masker lagi di rumah. Tapi, kalau
keluar rumah, masih harus pakai untuk mencegah tertular penyakit lain karena
kondisi badan juga belum sepenuhnya kuat.
Sekilas tips lain, minum obat TB
juga harus diikuti dengan semacan program penggemukan badan. Yup, that’s not a
joke. Saat itu, gue berusaha untuk naikin berat badan dengan makan lebih banyak
dan lebih sering. Gue juga minum vitamin dan minum susu Bear Brand setiap hari.
Program penggemukan badan ini tujuannya sejalan untuk memperkuat sistem imun.
Saat konsul entah bulan keberapa,
dokter paru yang biasa gue konsul lagi cuti. Mungkin karena dia praktik waktu
lebaran makanya dia baru cuti kali, ya (nah, great management, Siloam!) Jadi,
gue konsul ke dokter paru lain. Dokter yang ini jauh lebih ceriwis dan banyak
cerita. Dia pun cerita kalau dia ternyata juga pernah kena TB waktu koas. Dia juga
cerita yang intinya untuk semangatin gue dan Ibu gue. Sejak itu, gue lumayan ga
terlalu nge-down lagi. Gue udah ga terlalu menyalahkan diri sendiri dan semakin
semangat buat sembuh, dan yang terpenting.... untuk ubah pola hidup biar ga
kena lagi. Singkat cerita, gue harus minum empat macam antibiotik itu selama 3
bulan (biasanya 2 bulan), lalu lanjut minum dikurangi menjadi 2 macam hingga di
bulan ke-6. Mei 2018, gue dan Ibu gue sudah dinyatakan sembuh!
Jadi, dari cerita gue di atas,
gue pengen kasih beberapa saran yang pastinya ga cuma berguna biar kalian ga
kena TB, tapi juga untuk your overall health.
- Lebih peka dan sayang dengan diri sendiri. Selalu perhatikan perubahan apa yang kalian rasakan, entah itu misalnya berat badan yang bertambah atau berkurang drastis, sering pusing, sering pegal, dsb. Jangan pernah remehin penyakit apa pun yang kalian derita. Entah itu hanya pilek atau batuk karena kalian ga pernah tahu kalau ternyata semua itu adalah tanda-tanda dari sesuatu yg lebih serius.
- Lebih peduli dengan lingkungan dan orang lain.
Kalau kalian batuk atau bersin, tolong ditutup. Kalau kalian sakit yang
kira-kira menular, tolong pakai masker. Lebih peduli juga dengan keadaan
sekitar seperti apa kamar atau rumah kalian berdebu? Banyak tikus, kecoa,
dsb? Kebersihan masih dan selalu no. 1, ya.
- Jaga pola makan yang sehat. Banyak makan sayur dan
buah. Iya tahu, kedengerannya klise banget tapi ini memang penting.
Usahain setiap kalian makan, seeganya ada satu macam sayur. Usahain juga
seeganya makan satu macam buah setiap hari. Malas makan buah? Kalian bisa
jus. Jadi tinggal ditelan, kan? Malas minum jus karena rasanya ga enak?
Tambahin madu, jangan gula. Rasanya bakal jauuuuh lebih enak dan tetap ada
manfaatnya.
- Jaga pola hidup yang sehat. Jangan sering begadang,
jangan ngerokok, jangan makan junk food setiap hari. Olahraga! Paling
minimal coba jogging deh sekali seminggu atau olahraga apa pun yang kalian
suka. Badan kalian bakal terasa jauh lebih enak. Malas keluar rumah? Bisa
kardio atau yoga di rumah. Ayo, jangan banyak alasan kayak gue yang dulu
haha.
- Minum banyak air putih. Inimah ga usah dijelasin
lagi, ya manfaatnya.
- Dan, tambahan saran spesial buat kalian yang lagi
berjuang melawan bakteri TB, coba minum susu setiap hari. Kalian juga harus makan makanan yang berprotein tinggi kayak telur. Ini udah gue
jelasin sebelumnya. Tujuannya untuk bantu nambah berat badan kalian supaya
imun kalian juga semakin kuat dan badan kalian semakin siap untuk hempas
bakteri itu. Jangan takut gemuk atau jerawatan (I know what you feel,
my fella acne fighter). Kesehatan kalian harus jadi nomor 1 dulu. Urusan penampilan
belakangan.
Untuk kalian juga yang sedang
kena TB atau ada orang terdekat yang kena penyakit ini, jangan sedih, jangan
hilang harapan. Gue tahu kalau googling tentang penyakit ini, kedengerannya
serem banget, ya. Kalau ga disembuhin, bisa meninggal loh, dan ga sedikit orang
Indonesia yang berakhir meninggal hanya karena ga minum obat hingga tuntas.
Jadi, gue pengen ngingetin untuk teruuuus semangat minum obat. Iya memang minum
obat selama enam bulan itu ga mudah. Ada pasti saat-saat ketika lu bosan,
ngerasa udah enakan, maunya skip minum obat sekali atau dua kali, atau bahkan kepikiran
mau berhenti minum. Tolong, jangan pernah melakukan hal-hal berisiko kaya gitu.
Hanya dokter spesialis paru yang berhak memutuskan kapan lu udah boleh berhenti
minum obat. Ingat, lu ga sendirian. Banyak orang yang menderita penyakit ini
juga dan bisa sembuh. Ini bukan penyakit kayak kanker yang susah untuk
disembuhin. Kuncinya cuma satu, rajin dan sabar minum obat.
Untuk teman-teman yang sudah
sembuh dari penyakit ini kayak gue sekarang, selamat! Kalian sudah berhasil
melewati masa-masa ga ngenakin itu. Selamat, hidup kalian udah ga dihantui
dengan obat-obatan lagi. Tapi, jangan gegabah, ini nih satu hal yang sempat gue
remehin. Tetap jaga kesehatan kalian! Karena sedihnya, TB bukan penyakit kayak
cacar yang lu bisa kebal dari penyakit itu kalau lu udah pernah kena. Justru,
bakteri TB akan meninggalkan bekas "luka" selamanya di paru-paru lu,
meskipun udah sembuh. Dan kalau kalian udah pernah kena penyakit ini, ga
menutup kemungkinan kalian akan kena lagi karena itu tadi, paru-paru kalian
sudah sensitif, ga senormal dan sekuat orang-orang yang belum pernah kena.
Pasti kalian ga mau kan minum obat 6 bulan lagi.
Selain untuk jauhi diri dari
bakteri TB, jaga kesehatan juga penting banget supaya kalian ga kena
penyakit-penyakit lain, terutama yang berhubungan dengan sistem pernapasan.
Karena seperti yang tadi gue bilang, paru-paru kita sudah sensitif. Kalau
kalian tertular batuk atau pilek biasa pun, bisa dengan mudah jadi lebih parah
dan lebih susah disembuhin. Setelah dinyatakan sembuh. Jangan dikira hidup gue
tentram-tentram aja. Beberapa kali, gue "kambuh" dengan batuk yang
bukan TB sih, tapi tetap harus disembuhin dengan antibiotik yang ga murah.
Sekarang kalau gue batuk, biaya obat bisa sampai 700 ribu. Kalau dilihat dari
diagnosisnya, gue pernah kena yang namanya sequelae TB prelapse. Entahlah apa
itu, tapi kalau gue baca-baca sekilas di google, intinya itu penyakit yang biasa diderita
orang-orang yang pernah kena TB. Dokter gue waktu itu secara sederhananya
ngejelasin kalau itu adalah keadaan ketika penderita TB jadi gampang kena “alergi”.
Sekarang, gue udah bener-bener ga bisa makan gorengan, mecin, nasi goreng, mie
goreng, ayam goreng, ayam geprek, dan intinya semua yang dulu biasa gue makan
setiap hari (haha jangan dicontoh). Bahkan, minum es pun udah ga bisa
sering-sering karena pasti gampang batuk. Kalau sudah batuk sedikit dan gue
biarkan aja, pasti ujung-ujungnya bakal ke dokter spp lagi dan dikasih
antibiotik 200 ribu lagi :) Silver lining? Hidup gue otomatis lebih sehat dan
hemat karena gue jadi ga bisa makan di luar. Gue juga jadi bisa masak karena
udah ngebiasain diri untuk makan di rumah.
Oh iya, satu pesan lagi kali ini
buat orang-orang yang kenal atau dekat dengan orang yang sedang menderita TB. Tolong,
jangan lebay. Jangan mengucilkan mereka. Yang harus dijauhi itu penyakitnya,
bukan penderitanya. Selama kalian dan si penderita tetap pakai masker, kalian
bakal baik-baik aja, kok. Lagian kalau sudah minum obat selama dua minggu,
penyakit ini juga udah ga menular. Yang terpenting juga jangan sampai kalian
berbagi makanan atau minuman atau alat makan dengan penderita. Intinya, tolong,
jangan jauhi mereka, tapi tetap selalu kasih semangat.
Jadi..... ayo teman-teman yang
sudah sembuh atau sedang sakit, entah itu TB atau penyakit lain, tetap semangat
dan selalu jaga diri, ya. Kalian pasti sembuh. Jangan berlarut-larut sedihnya
karena siapa tahu, Allah punya rencana lain yang lebih baik setelah ini, kan?
Ayooo kita berjuang sama-sama :)
- Wilda
- Wilda
Image source: Unsplash/@arash_payam
-
0 comments