Those Darker Days [My TB Story]

by - 6:23 PM

Selalu maju-mundur mau cerita hal ini karena lumayan personal bagi gue. Tapi, karena memang masih banyak orang yang menderita penyakit ini dan gue pengen banget siapa pun kalian yang baca postingan ini ga menderita hal yang sama, gue akhirnya memutuskan untuk berbagi pengalaman gue. Intinya, gue pengen cerita supaya kalian ga melakukan kesalahan yang sama dan ga menganggap remeh penyakit apa pun itu. Gue juga akan kasih tahu cara-cara gue untuk tetap jaga kesehatan dan menjauhi diri dari penyakit ini. Siap-siap, ya, postingan ini akan lumayan panjang.

Akhir bulan Ramadan tahun 2017, yaitu bulan Juni, gue didiagnosis terkena penyakit TB atau TBC atau Tuberculosis. Setahu gue, penyakit ini bisa menyerang organ apa aja, tapi yang gue derita adalah yang paling banyak diderita juga oleh orang-orang di negara berkembang yang lain, yaitu TB paru. Karena paru-paru adalah organ sistem pernapasan, otomatis penyakit TB paru pasti menular.

Ceritanya, gue memang sudah mulai batuk sekitar sebelum bulan Ramadan. Lalu, setelah pertengahan hingga akhir bulan Ramadan, kondisi gue semakin melemah dan yang paling menyeramkan adalah.... gue batuk berdahak darah. Bodohnya, gue kira batuk darah ini karena mungkin amandel atau kerongkongan gue infeksi atau semacamnya jadi bisa berdarah. Tapi, gue mulai merasakan, oke ini kayaknya bukan hanya karena kerongkongan gue berdarah. Gue memang ga setiap saat batuk darah. Lebih sering batuk yang dahaknya ga berwarna alias putih, tapi kalau malam hari, pasti dahak darah itu keluar, dan setiap gue batuk mengeluarkan darah, rasanya kayak ga habis-habis. Dada dan rusuk bagian belakang gue juga sakit. Akhirnya, gue memutuskan untuk berobat pada malam H-2 Idul Fitri ditemani kakak kedua gue.

Gue waktu itu ke dokter umum di RS Mitra Keluarga Depok. Waktu gue cerita ke dokternya, “Saya batuk, dok”. Muka dokternya masih adem-adem aja. Tapi, waktu gue bilang, “Tapi, dahaknya darah...”. Dokternya langsung ngeliat ke gue dengan mengernyit dan ekspresi yang super ga enak, haha. Lalu, tanpa basa-basi lagi, dia nyuruh gue periksa darah dan rontgen, lalu balik lagi ke dia. Karena hasil darah butuh 2 jam bisa keluar, dokter umum itu hanya lihat hasil rontgen gue. Setelah dia lihat hasilnya, dia langsung telepon seseorang dan nanya, “Dokter paru masih ada?”. Sayangnya, karena waktu itu udah sekitar jam 9 malam, dokter paru terakhir hari itu udah pulang. Sayangnya lagi, setelah hari itu, udah ga ada dokter paru yang praktik di Mitra karena semuanya udah cuti lebaran :) Lalu, gue nanya, “Kenapa, dok? Jadi, saya sakit apa?” Dokter bilang, “Saya mau rujuk kamu ke dokter paru karena dari penglihatan saya berdasarkan hasil rontgen, kamu TB. Tapi, karena saya dokter umum, saya tidak punya otoritas sepenuhnya untuk mendiagnosis.” Ya, kurang lebih kayak gitu.

Sebagai anak terakhir dari lima bersaudara dan orang tua yang lumayan panikan (haha), jadilah keadaan rumah lumayan heboh waktu itu. Orang tua gue langsung cari rumah sakit yang masih ada dokter paru. Pagi harinya, gue konsul ke RS Siloam Simatupang dengan udah megang hasil cek darah dan rontgen dari Mitra. Saat konsul, intinya dokter cuma nanya, sejak kapan berat badan gue turun dan gue tinggal di asrama atau ga. Gue bukan orang yang terlalu merhatiin timbangan karena gue ngerasa berat badan gue normal-normal aja. Jadi, gue sama sekali ga sadar kalau berat badan gue turun drastis. Gue baru ingat, memang biasanya berat badan gue 48 atau 49, tapi waktu sakit, berat gue 41. Gue juga cerita ke dokter kalau gue ga asrama, tapi memang beberapa teman sejurusan gue juga ada yang pernah sakit TB.

Sebenarnya, seseorang bisa positif didiagnosis TB paru itu harus dilihat dari tiga faktor, yaitu hasil lab darah, rontgen, dan cek dahak. Tapi, karena gue ga bisa ngeluarin dahak yang cukup banyak untuk diperiksa, gue ga mengikuti prosedur yang satu itu. Dokter Siloam ini juga sepertinya udah dokter paru yang lebih expert (dilihat dari gelarnya) karena dia ga mau spekulasi dan menurut dia, gue udah positif kalau dilihat dari hasil rontgen. Bercak di paru-paru gue menurut dia udah banyak, terutama di paru-paru kanan (mungkin ini penyebab setiap gue batuk, rusuk belakang gue sakit). Dokter yang ini juga ga banyak omong dan pembawaannya tenang, gue jadi ikut udah ga terlalu panik lagi. Di akhir konsul, dia cuma jelasin apa aja yang harus gue minum, obat-obat penunjang lainnya, dan dia juga nyuruh semua orang rumah di-screening. Dia juga bilang gue harus konsul setiap bulan.

Lebaran tahun itu lumayan gokil, sih. Gue bisa ngerasain vibe rumah ga seceria tahun-tahun lalu. Setelah salat Id, gue juga cuma bisa tiduran di kasur karena super mual dan muntah-muntah akibat minum empat macam antibiotik TB. Keluarga inti gue juga ga ada yang keluar rumah.

Hari kedua lebaran, keempat kakak gue dan kedua orang tua gue pun screening. Ternyata kabar buruk belum berakhir. Hasil rontgen Ibu gue juga memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Setelah dilihat dokter paru yang sama di Siloam, Ibu juga positif TB. Sebenarnya, bercak di paru-paru Ibu gue masih sedikit, tapi menurut dokter, tetap harus minum obat selama enam bulan.

Oke, perasaan gue super ga karuan waktu itu. Bayangin, lu masih syok setelah didiagnosis TB, mual karena empat antibiotik keras, dan baru tahu kalau lu juga nularin penyakit itu ke ibu lu. Gue inget, malemnya, gue nangis bombay dan akhirnya dapet wejangan penyemangat dari Ayah, haha.

Alhamdulillah, Ibu gue ga sepayah gue. Beliau ga mual atau pun muntah-muntah kayak gue. Anak satu tahun kakak pertama gue juga ternyata harus minum salah satu obat TB selama enam bulan untuk mencegah hal-hal yang ga diinginkan (meskipun dia ga tertular).

Alhamdulillah lagi, saat itu bertepatan dengan libur kuliah tiga bulan. Jadilah gue super istirahat selama awal minum obat itu, meskipun badan udah enakan setelah satu bulan. Oh iya, setelah minum obat dua minggu, penyakit ini udah ga menular karena bakterinya udah “pingsan”. Gue juga udah ga harus pake masker lagi di rumah. Tapi, kalau keluar rumah, masih harus pakai untuk mencegah tertular penyakit lain karena kondisi badan juga belum sepenuhnya kuat.

Sekilas tips lain, minum obat TB juga harus diikuti dengan semacan program penggemukan badan. Yup, that’s not a joke. Saat itu, gue berusaha untuk naikin berat badan dengan makan lebih banyak dan lebih sering. Gue juga minum vitamin dan minum susu Bear Brand setiap hari. Program penggemukan badan ini tujuannya sejalan untuk memperkuat sistem imun.

Saat konsul entah bulan keberapa, dokter paru yang biasa gue konsul lagi cuti. Mungkin karena dia praktik waktu lebaran makanya dia baru cuti kali, ya (nah, great management, Siloam!) Jadi, gue konsul ke dokter paru lain. Dokter yang ini jauh lebih ceriwis dan banyak cerita. Dia pun cerita kalau dia ternyata juga pernah kena TB waktu koas. Dia juga cerita yang intinya untuk semangatin gue dan Ibu gue. Sejak itu, gue lumayan ga terlalu nge-down lagi. Gue udah ga terlalu menyalahkan diri sendiri dan semakin semangat buat sembuh, dan yang terpenting.... untuk ubah pola hidup biar ga kena lagi. Singkat cerita, gue harus minum empat macam antibiotik itu selama 3 bulan (biasanya 2 bulan), lalu lanjut minum dikurangi menjadi 2 macam hingga di bulan ke-6. Mei 2018, gue dan Ibu gue sudah dinyatakan sembuh!

Jadi, dari cerita gue di atas, gue pengen kasih beberapa saran yang pastinya ga cuma berguna biar kalian ga kena TB, tapi juga untuk your overall health.

  1. Lebih peka dan sayang dengan diri sendiri. Selalu perhatikan perubahan apa yang kalian rasakan, entah itu misalnya berat badan yang bertambah atau berkurang drastis, sering pusing, sering pegal, dsb. Jangan pernah remehin penyakit apa pun yang kalian derita. Entah itu hanya pilek atau batuk karena kalian ga pernah tahu kalau ternyata semua itu adalah tanda-tanda dari sesuatu yg lebih serius. 
  2. Lebih peduli dengan lingkungan dan orang lain. Kalau kalian batuk atau bersin, tolong ditutup. Kalau kalian sakit yang kira-kira menular, tolong pakai masker. Lebih peduli juga dengan keadaan sekitar seperti apa kamar atau rumah kalian berdebu? Banyak tikus, kecoa, dsb? Kebersihan masih dan selalu no. 1, ya.
  3. Jaga pola makan yang sehat. Banyak makan sayur dan buah. Iya tahu, kedengerannya klise banget tapi ini memang penting. Usahain setiap kalian makan, seeganya ada satu macam sayur. Usahain juga seeganya makan satu macam buah setiap hari. Malas makan buah? Kalian bisa jus. Jadi tinggal ditelan, kan? Malas minum jus karena rasanya ga enak? Tambahin madu, jangan gula. Rasanya bakal jauuuuh lebih enak dan tetap ada manfaatnya. 
  4. Jaga pola hidup yang sehat. Jangan sering begadang, jangan ngerokok, jangan makan junk food setiap hari. Olahraga! Paling minimal coba jogging deh sekali seminggu atau olahraga apa pun yang kalian suka. Badan kalian bakal terasa jauh lebih enak. Malas keluar rumah? Bisa kardio atau yoga di rumah. Ayo, jangan banyak alasan kayak gue yang dulu haha.
  5. Minum banyak air putih. Inimah ga usah dijelasin lagi, ya manfaatnya.
  6. Dan, tambahan saran spesial buat kalian yang lagi berjuang melawan bakteri TB, coba minum susu setiap hari. Kalian juga harus makan makanan yang berprotein tinggi kayak telur. Ini udah gue jelasin sebelumnya. Tujuannya untuk bantu nambah berat badan kalian supaya imun kalian juga semakin kuat dan badan kalian semakin siap untuk hempas bakteri itu. Jangan takut gemuk atau jerawatan (I know what you feel, my fella acne fighter). Kesehatan kalian harus jadi nomor 1 dulu. Urusan penampilan belakangan.
Untuk kalian juga yang sedang kena TB atau ada orang terdekat yang kena penyakit ini, jangan sedih, jangan hilang harapan. Gue tahu kalau googling tentang penyakit ini, kedengerannya serem banget, ya. Kalau ga disembuhin, bisa meninggal loh, dan ga sedikit orang Indonesia yang berakhir meninggal hanya karena ga minum obat hingga tuntas. Jadi, gue pengen ngingetin untuk teruuuus semangat minum obat. Iya memang minum obat selama enam bulan itu ga mudah. Ada pasti saat-saat ketika lu bosan, ngerasa udah enakan, maunya skip minum obat sekali atau dua kali, atau bahkan kepikiran mau berhenti minum. Tolong, jangan pernah melakukan hal-hal berisiko kaya gitu. Hanya dokter spesialis paru yang berhak memutuskan kapan lu udah boleh berhenti minum obat. Ingat, lu ga sendirian. Banyak orang yang menderita penyakit ini juga dan bisa sembuh. Ini bukan penyakit kayak kanker yang susah untuk disembuhin. Kuncinya cuma satu, rajin dan sabar minum obat.

Untuk teman-teman yang sudah sembuh dari penyakit ini kayak gue sekarang, selamat! Kalian sudah berhasil melewati masa-masa ga ngenakin itu. Selamat, hidup kalian udah ga dihantui dengan obat-obatan lagi. Tapi, jangan gegabah, ini nih satu hal yang sempat gue remehin. Tetap jaga kesehatan kalian! Karena sedihnya, TB bukan penyakit kayak cacar yang lu bisa kebal dari penyakit itu kalau lu udah pernah kena. Justru, bakteri TB akan meninggalkan bekas "luka" selamanya di paru-paru lu, meskipun udah sembuh. Dan kalau kalian udah pernah kena penyakit ini, ga menutup kemungkinan kalian akan kena lagi karena itu tadi, paru-paru kalian sudah sensitif, ga senormal dan sekuat orang-orang yang belum pernah kena. Pasti kalian ga mau kan minum obat 6 bulan lagi.

Selain untuk jauhi diri dari bakteri TB, jaga kesehatan juga penting banget supaya kalian ga kena penyakit-penyakit lain, terutama yang berhubungan dengan sistem pernapasan. Karena seperti yang tadi gue bilang, paru-paru kita sudah sensitif. Kalau kalian tertular batuk atau pilek biasa pun, bisa dengan mudah jadi lebih parah dan lebih susah disembuhin. Setelah dinyatakan sembuh. Jangan dikira hidup gue tentram-tentram aja. Beberapa kali, gue "kambuh" dengan batuk yang bukan TB sih, tapi tetap harus disembuhin dengan antibiotik yang ga murah. Sekarang kalau gue batuk, biaya obat bisa sampai 700 ribu. Kalau dilihat dari diagnosisnya, gue pernah kena yang namanya sequelae TB prelapse. Entahlah apa itu, tapi kalau gue baca-baca sekilas di google, intinya itu penyakit yang biasa diderita orang-orang yang pernah kena TB. Dokter gue waktu itu secara sederhananya ngejelasin kalau itu adalah keadaan ketika penderita TB jadi gampang kena “alergi”. Sekarang, gue udah bener-bener ga bisa makan gorengan, mecin, nasi goreng, mie goreng, ayam goreng, ayam geprek, dan intinya semua yang dulu biasa gue makan setiap hari (haha jangan dicontoh). Bahkan, minum es pun udah ga bisa sering-sering karena pasti gampang batuk. Kalau sudah batuk sedikit dan gue biarkan aja, pasti ujung-ujungnya bakal ke dokter spp lagi dan dikasih antibiotik 200 ribu lagi :) Silver lining? Hidup gue otomatis lebih sehat dan hemat karena gue jadi ga bisa makan di luar. Gue juga jadi bisa masak karena udah ngebiasain diri untuk makan di rumah.

Oh iya, satu pesan lagi kali ini buat orang-orang yang kenal atau dekat dengan orang yang sedang menderita TB. Tolong, jangan lebay. Jangan mengucilkan mereka. Yang harus dijauhi itu penyakitnya, bukan penderitanya. Selama kalian dan si penderita tetap pakai masker, kalian bakal baik-baik aja, kok. Lagian kalau sudah minum obat selama dua minggu, penyakit ini juga udah ga menular. Yang terpenting juga jangan sampai kalian berbagi makanan atau minuman atau alat makan dengan penderita. Intinya, tolong, jangan jauhi mereka, tapi tetap selalu kasih semangat.

Jadi..... ayo teman-teman yang sudah sembuh atau sedang sakit, entah itu TB atau penyakit lain, tetap semangat dan selalu jaga diri, ya. Kalian pasti sembuh. Jangan berlarut-larut sedihnya karena siapa tahu, Allah punya rencana lain yang lebih baik setelah ini, kan? Ayooo kita berjuang sama-sama :)


- Wilda


Image source: Unsplash/@arash_payam


- 

You May Also Like

0 comments

FOLLOW ME ON INSTAGRAM @WITHWILDA