Contoh Essay Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2020 Lolos Seleksi Tahap 1 dan 2

by - 9:50 PM

Halo! Perkenalkan, aku Wilda. Alhamdulillah aku berhasil lolos menjadi Awardee Beasiswa Unggulan S2 Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Di postingan ini, aku mau berbagi esai yang aku tulis saat memenuhi persyaratan Beasiswa Unggulan ini. Boleh dijadikan inspirasi, ya!


Image source: Unsplash/Christin Hume

Kedewasaan Mental: Bekal Milenial Menjadi Generasi Unggulan Bangsa

oleh Wilda Khairani

Essai ini saya tulis untuk mengikuti Beasiswa Unggul Masyarakat Berprestasi tahun 2020/2021. Nama saya Wilda Khairani. Saya berasal dari Depok, Jawa Barat. Saya mahasiswa baru Program Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia.

Berbicara mengenai “generasi unggul”, kebanyakan orang akan langsung mengasosiasikan istilah ini pada generasi muda. Pasalnya, menciptakan atau menjadi generasi unggul bukan sekadar mementingkan persoalan tua atau muda. Masih banyak hal mendasar lainnya yang lebih esensial dibandingkan usia. Bagi saya, menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia adalah persoalan kedewasaan mental. Pembicaraan tentang mental tidak dapat ditentukan dari usia. Generasi yang sudah termasuk “berpengalaman” pun tidak selalu sudah berhasil mencapai kedewasaan mental. Begitu pula jika dilihat dari persepsi generasi muda. Meskipun usia belum memasuki kepala tiga, bukan berarti mereka belum memperoleh kedewasaan mental. Pada esai ini, saya ingin menjabarkan opini saya mengenai makna kedewasaan mental dalam usaha untuk menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia, terlepas dari pembicaraan usia.

Sebelumnya, saya ingin kembali memperjelas alasan saya tidak terlalu berkelut pada usia ketika membicarakan generasi unggul. Bagi saya, kita semua mampu menjadi generasi unggul, berapa pun genap usia yang telah dilewati. Untuk menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia, muncul tuntutan memiliki kemampuan nyata berkontribusi untuk bangsa. Faktanya, kemampuan ini tidak selalu dimiliki oleh generasi tua ataupun sudah pasti hanya mampu dilakukan oleh generasi muda. Namun, tidak adil pula untuk langsung melempar tongkat estafet kepada generasi muda.

Seperti pembelajaran paling dasar di bidang sosiologi, manusia adalah makhluk sosial. Jalinan kontribusi antara generasi muda dan tua tidak dapat dimungkiri tetap diperlukan untuk membangun bangsa. Kita tidak dapat hanya mengandalkan generasi tua untuk menjadi generasi unggul, meskipun pengalaman dan kebijaksanaan mereka adalah aset yang tidak dapat dibantahkan. Namun, implementasi nyata dari berbagai konsep atau pengalaman yang dapat dipelajari dari generasi tua tersebut tetap membutuhkan perspektif dan tenaga segar dari generasi muda. Oleh karena itu, dibutuhkan kerendahan hati dari kedua kubu untuk tidak saling meremehkan maupun mengacuhkan kontribusi masing-masing.

Pada tulisan ini, saya tidak akan terlalu jauh mendebatkan ketimpangan antara generasi tua dan generasi muda di Indonesia. Sebagai individu yang dapat digolongkan ke dalam generasi muda, saya hanya ingin lebih membicarakan bagaimana implementasi nyata generasi muda zaman sekarang atau yang lebih akrab disebut dengan istilah milenial untuk menjadi generasi unggul yang membanggakan. Bagi saya, niat ingin berkontribusi untuk bangsa masih berupa angan-angan jika belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Sebagai milenial, saya sangat mengerti berbagai gemelut batin yang banyak dirasakan generasi muda saat ini.

Yang pertama adalah wacana “passion”. Memasuki usia 20-an, banyak milenial yang mengaku mengalami quarter-life crisis. Mengutip dari Guardian[1], quarter-life crisis adalah keadaan psikologis berupa kecemasan akibat tekanan untuk menjadi sukses dalam karier, keuangan, dan hubungan sebelum memasuki usia 30 tahun. Banyak milenial yang mengalami hal ini merasa kehilangan arah, tidak tahu harus melakukan apa dalam hidup mereka, atau pun tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Mereka juga sering kali merasa jalan hidup yang mereka jalani sekarang tidak sesuai passion. Hal ini membuat tidak sedikit milenial “terobsesi” untuk mencari dan menemukan passion. Bagi mereka, jika sudah hidup dan punya pekerjaan sesuai passion, mereka akan bahagia. Saya tidak menyalahkan anggapan ini, bahkan saya setuju. Namun, ada yang perlu digarisbawahi. Passion justru menjadi “racun” ketika kita merasa tertekan untuk menemukannya.

Permasalahannya, usia 20-an bukanlah masa ketika milenial sudah harus tahu segalanya. Milenial harus mengerti, belum menemukan passion di usia 20-an bukan berarti mereka adalah produk gagal. Hal ini yang membuat saya percaya, saatnya berhenti mengglamorkan kata “passion”.

Kecemasan quarter-life crisis ini tidak dapat dimungkiri juga sedikit-banyak dipengaruhi media sosial. Berbagai tekanan datang ketika, misalnya, seorang milenial membandingkan diri dengan teman-teman media sosialnya yang sudah punya penghasilan dua digit di usia 25 tahun atau yang sudah menikah dan punya anak di usia 23 tahun.

Passion bukan sesuatu yang perlu dikejar. Saya rasa, milenial yang mengalami quarter-life crisis harus kembali menentukan apa definisi kesuksesan sebenarnya bagi mereka daripada memusingkan passion. Mengetahui apa yang diinginkan dalam hidup bukanlah proses semalam jadi. Dibutuhkan ketekunan dan keberanian untuk mengeksplorasi segalanya yang tersedia di zaman sekarang ini.

Hal ini berhubungan dengan gemelut batin milenial yang kedua, yaitu takut mencoba. Masalahnya, bagaimana kita bisa tahu bahwa kita ahli dan menyukai suatu bidang jika belum mencobanya? Bagaimana kita tahu kalau hal atau pekerjaan tersebut akan membawa kebahagiaan dan makna kesuksesan yang kita dambakan jika belum mencobanya? Menurut saya (dan hampir sesuai pengalaman), ketakutan terhadap kegagalan dan persepsi orang lainlah yang membuat milenial masih maju-mundur untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup. Oleh karena itu, penting untuk mempunyai keteguhan mental melawan itu semua.

Hal ini juga mengarah pada gemelut batin milenial yang ketiga, yaitu mudah menyerah. Ketika sudah berani mencoba, tidak sedikit milenial yang tidak cukup tangguh menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Bukan berarti harus memaksakan diri untuk melakukan apa yang tidak disuka, tetapi milenial perlu mengerti, setiap titik keringat yang menetes tidak ada yang sia-sia. Jika saat ini sedang mencoba sesuatu, lalu menemukan kesulitan, itu bukan tanda harus berhenti dan keluar dari keadaan tersebut, tetapi bagaimana proses mendewasakan diri melewati semua itulah yang perlu ditanamkan.

Ketiga gemelut batin tersebut bagi saya penting untuk milenial hadapi sebelum berpikir bagaimana cara berkontribusi untuk bangsa. Tidak mengelak, saya sendiri masih dalam proses berdamai dengan diri sendiri melawan ketiga hal tersebut. Namun, saya cukup percaya diri untuk berkata bahwa saya sudah hampir masuk ke fase “siap” memberi implementasi nyata sebagai generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia.

Sebagai mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia, saya memiliki peran untuk berkontribusi dalam bidang bahasa dan literasi. Menggabungkan ilmu yang akan saya peroleh selama 1,5 tahun ke depan dan keunggulan kemampuan menulis, saya siap berdedikasi untuk menjadi generasi unggulan. Bahasa adalah aspek mendasar pada bidang apa pun sehingga saya yakin ilmu yang diberikan program magister ini akan sangat berguna untuk menopang tujuan dan usaha saya berkontribusi kepada bangsa, apa pun bentuknya.

Saya ingin menambah wawasan dan khasanah penelitian di bidang kebahasaan agar dapat dipergunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang tidak hanya terdapat di bidang ini, tetapi juga melampauai aspek kehidupan yang lain. Saya ingin memanfaatkan kemampuan menulis saya untuk memperkaya literasi dan mengedukasi para sivitas akademik (maupun orang umum yang tertarik) di bidang linguistik karena saya sadar penulis mutakhir Indonesia di bidang ini masih kurang. Oleh karena itu, mengambil program magister adalah salah satu upaya saya mendewasakan mental sebelum akhirnya bisa memberi kontribusi nyata dalam cakupan negara.

 Berhenti mengglamorkan kata “passion”, berani mencoba, dan tangguh menyelesaikan apa yang sudah dimulai adalah bekal saya dan teman-teman milenial untuk berdamai dengan diri sendiri agar mencapai kedewasaan mental. Setelah berhasil, bukan berarti proses telah berakhir. Pengembangan diri harus terus dilakukan agar kapan pun dibutuhkan, kita semua siap menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia.



[1] https://www.theguardian.com/society/2011/may/05/quarterlife-crisis-young-insecure-depressed


You May Also Like

0 comments

FOLLOW ME ON INSTAGRAM @WITHWILDA