Contoh Essay Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2020 Lolos Seleksi Tahap 1 dan 2
Halo! Perkenalkan, aku Wilda. Alhamdulillah aku berhasil lolos menjadi Awardee Beasiswa Unggulan S2 Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Di postingan ini, aku mau berbagi esai yang aku tulis saat memenuhi persyaratan Beasiswa Unggulan ini. Boleh dijadikan inspirasi, ya!
Kedewasaan Mental: Bekal
Milenial Menjadi Generasi Unggulan Bangsa
oleh Wilda Khairani
Essai ini saya tulis untuk mengikuti Beasiswa Unggul
Masyarakat Berprestasi tahun 2020/2021. Nama saya Wilda Khairani. Saya berasal
dari Depok, Jawa Barat. Saya mahasiswa baru Program Magister Ilmu Linguistik
Universitas Indonesia.
Berbicara mengenai
“generasi unggul”, kebanyakan orang akan langsung mengasosiasikan istilah ini
pada generasi muda. Pasalnya, menciptakan atau menjadi generasi unggul bukan sekadar
mementingkan persoalan tua atau muda. Masih banyak hal mendasar lainnya yang
lebih esensial dibandingkan usia. Bagi saya, menjadi generasi unggul kebanggaan
bangsa Indonesia adalah persoalan kedewasaan mental. Pembicaraan tentang mental
tidak dapat ditentukan dari usia. Generasi yang sudah termasuk “berpengalaman” pun
tidak selalu sudah berhasil mencapai kedewasaan mental. Begitu pula jika
dilihat dari persepsi generasi muda. Meskipun usia belum memasuki kepala tiga,
bukan berarti mereka belum memperoleh kedewasaan mental. Pada esai ini, saya
ingin menjabarkan opini saya mengenai makna kedewasaan mental dalam usaha untuk
menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia, terlepas dari pembicaraan
usia.
Sebelumnya, saya
ingin kembali memperjelas alasan saya tidak terlalu berkelut pada usia ketika
membicarakan generasi unggul. Bagi saya, kita semua mampu menjadi generasi
unggul, berapa pun genap usia yang telah dilewati. Untuk menjadi generasi
unggul kebanggaan bangsa Indonesia, muncul tuntutan memiliki kemampuan nyata
berkontribusi untuk bangsa. Faktanya, kemampuan ini tidak selalu dimiliki oleh
generasi tua ataupun sudah pasti hanya mampu dilakukan oleh generasi muda.
Namun, tidak adil pula untuk langsung melempar tongkat estafet kepada generasi
muda.
Seperti
pembelajaran paling dasar di bidang sosiologi, manusia adalah makhluk sosial.
Jalinan kontribusi antara generasi muda dan tua tidak dapat dimungkiri tetap
diperlukan untuk membangun bangsa. Kita tidak dapat hanya mengandalkan generasi
tua untuk menjadi generasi unggul, meskipun pengalaman dan kebijaksanaan mereka
adalah aset yang tidak dapat dibantahkan. Namun, implementasi nyata dari
berbagai konsep atau pengalaman yang dapat dipelajari dari generasi tua
tersebut tetap membutuhkan perspektif dan tenaga segar dari generasi muda. Oleh
karena itu, dibutuhkan kerendahan hati dari kedua kubu untuk tidak saling
meremehkan maupun mengacuhkan kontribusi masing-masing.
Pada tulisan ini, saya
tidak akan terlalu jauh mendebatkan ketimpangan antara generasi tua dan
generasi muda di Indonesia. Sebagai individu yang dapat digolongkan ke dalam
generasi muda, saya hanya ingin lebih membicarakan bagaimana implementasi nyata
generasi muda zaman sekarang atau yang lebih akrab disebut dengan istilah
milenial untuk menjadi generasi unggul yang membanggakan. Bagi saya, niat ingin
berkontribusi untuk bangsa masih berupa angan-angan jika belum bisa berdamai
dengan diri sendiri. Sebagai milenial, saya sangat mengerti berbagai gemelut
batin yang banyak dirasakan generasi muda saat ini.
Yang pertama
adalah wacana “passion”. Memasuki usia 20-an, banyak milenial yang mengaku
mengalami quarter-life crisis. Mengutip dari Guardian[1],
quarter-life crisis adalah keadaan psikologis berupa kecemasan akibat
tekanan untuk menjadi sukses dalam karier, keuangan, dan hubungan sebelum
memasuki usia 30 tahun. Banyak milenial yang mengalami hal ini merasa
kehilangan arah, tidak tahu harus melakukan apa dalam hidup mereka, atau pun
tidak tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Mereka juga sering kali merasa
jalan hidup yang mereka jalani sekarang tidak sesuai passion. Hal ini
membuat tidak sedikit milenial “terobsesi” untuk mencari dan menemukan passion.
Bagi mereka, jika sudah hidup dan punya pekerjaan sesuai passion, mereka
akan bahagia. Saya tidak menyalahkan anggapan ini, bahkan saya setuju. Namun,
ada yang perlu digarisbawahi. Passion justru menjadi “racun” ketika kita
merasa tertekan untuk menemukannya.
Permasalahannya, usia
20-an bukanlah masa ketika milenial sudah harus tahu segalanya. Milenial harus
mengerti, belum menemukan passion di usia 20-an bukan berarti mereka
adalah produk gagal. Hal ini yang membuat saya percaya, saatnya berhenti mengglamorkan
kata “passion”.
Kecemasan quarter-life
crisis ini tidak dapat dimungkiri juga sedikit-banyak dipengaruhi media
sosial. Berbagai tekanan datang ketika, misalnya, seorang milenial
membandingkan diri dengan teman-teman media sosialnya yang sudah punya
penghasilan dua digit di usia 25 tahun atau yang sudah menikah dan punya anak
di usia 23 tahun.
Passion bukan sesuatu yang perlu dikejar. Saya rasa, milenial
yang mengalami quarter-life crisis harus kembali menentukan apa definisi
kesuksesan sebenarnya bagi mereka daripada memusingkan passion.
Mengetahui apa yang diinginkan dalam hidup bukanlah proses semalam jadi.
Dibutuhkan ketekunan dan keberanian untuk mengeksplorasi segalanya yang
tersedia di zaman sekarang ini.
Hal ini
berhubungan dengan gemelut batin milenial yang kedua, yaitu takut mencoba.
Masalahnya, bagaimana kita bisa tahu bahwa kita ahli dan menyukai suatu bidang
jika belum mencobanya? Bagaimana kita tahu kalau hal atau pekerjaan tersebut
akan membawa kebahagiaan dan makna kesuksesan yang kita dambakan jika belum
mencobanya? Menurut saya (dan hampir sesuai pengalaman), ketakutan terhadap
kegagalan dan persepsi orang lainlah yang membuat milenial masih maju-mundur
untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup. Oleh karena
itu, penting untuk mempunyai keteguhan mental melawan itu semua.
Hal ini juga
mengarah pada gemelut batin milenial yang ketiga, yaitu mudah menyerah. Ketika
sudah berani mencoba, tidak sedikit milenial yang tidak cukup tangguh
menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Bukan berarti harus memaksakan diri
untuk melakukan apa yang tidak disuka, tetapi milenial perlu mengerti, setiap
titik keringat yang menetes tidak ada yang sia-sia. Jika saat ini sedang
mencoba sesuatu, lalu menemukan kesulitan, itu bukan tanda harus berhenti dan
keluar dari keadaan tersebut, tetapi bagaimana proses mendewasakan diri melewati
semua itulah yang perlu ditanamkan.
Ketiga gemelut
batin tersebut bagi saya penting untuk milenial hadapi sebelum berpikir
bagaimana cara berkontribusi untuk bangsa. Tidak mengelak, saya sendiri masih
dalam proses berdamai dengan diri sendiri melawan ketiga hal tersebut. Namun,
saya cukup percaya diri untuk berkata bahwa saya sudah hampir masuk ke fase
“siap” memberi implementasi nyata sebagai generasi unggul kebanggaan bangsa
Indonesia.
Sebagai mahasiswa Program
Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia, saya memiliki peran untuk
berkontribusi dalam bidang bahasa dan literasi. Menggabungkan ilmu yang akan
saya peroleh selama 1,5 tahun ke depan dan keunggulan kemampuan menulis, saya
siap berdedikasi untuk menjadi generasi unggulan. Bahasa adalah aspek mendasar
pada bidang apa pun sehingga saya yakin ilmu yang diberikan program magister
ini akan sangat berguna untuk menopang tujuan dan usaha saya berkontribusi
kepada bangsa, apa pun bentuknya.
Saya ingin
menambah wawasan dan khasanah penelitian di bidang kebahasaan agar dapat
dipergunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang tidak hanya terdapat di
bidang ini, tetapi juga melampauai aspek kehidupan yang lain. Saya ingin
memanfaatkan kemampuan menulis saya untuk memperkaya literasi dan mengedukasi
para sivitas akademik (maupun orang umum yang tertarik) di bidang linguistik
karena saya sadar penulis mutakhir Indonesia di bidang ini masih kurang. Oleh
karena itu, mengambil program magister adalah salah satu upaya saya
mendewasakan mental sebelum akhirnya bisa memberi kontribusi nyata dalam cakupan
negara.
Berhenti mengglamorkan kata “passion”, berani mencoba, dan tangguh menyelesaikan apa yang sudah dimulai adalah bekal saya dan teman-teman milenial untuk berdamai dengan diri sendiri agar mencapai kedewasaan mental. Setelah berhasil, bukan berarti proses telah berakhir. Pengembangan diri harus terus dilakukan agar kapan pun dibutuhkan, kita semua siap menjadi generasi unggul kebanggaan bangsa Indonesia.
0 comments